Jakarta – Kekerasan digital kian mengancam perempuan muda di Indonesia, menjadi bentuk kekerasan berbasis gender yang paling cepat berkembang. PBB menyoroti bahwa perempuan usia 15-19 tahun paling rentan terhadap ancaman tak kasat mata di ruang daring yang berdampak nyata pada kehidupan.
Data dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menunjukkan tingginya intensitas penggunaan media sosial menempatkan kelompok usia tersebut pada risiko terbesar. Padahal, Ruang Digital Global Compact (GDC) PBB menegaskan bahwa ruang digital seharusnya menjadi tempat yang menghormati dan melindungi hak asasi manusia.
Dwi Yuliawati, Head of Programmes UN Women Indonesia, menegaskan bahwa kekerasan digital membungkam suara, mengancam demokrasi, dan merusak kesetaraan gender. “Sebanyak 1,8 miliar perempuan di dunia ini belum terlindungi dari kekerasan digital,” ungkap Dwi.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara “UNiTE to End Digital Violence Against All Women and Girls” pada Kamis, 20 November 2025, di Kantor PBB, Jakarta. Acara ini merupakan bagian dari kampanye global UNiTE 2025 dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP).
Kampanye ini bertujuan tidak hanya melindungi perempuan, tetapi juga memperkuat demokrasi dan menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Kekerasan digital mencakup berbagai tindakan yang difasilitasi teknologi. Bentuk-bentuk umum meliputi pelecehan daring (online harassment), perundungan siber (cyberstalking), kekerasan seksual berbasis elektronik, doxxing, rekrutmen atau pancingan (luring), peretasan (hacking), penyalahgunaan gambar termasuk deepfake, serta ujaran kebencian.
Dampak kekerasan digital melampaui dunia maya, merugikan korban secara finansial, privasi, reputasi, hingga trauma psikologis. Fenomena ini juga meningkatkan ketidaksetaraan gender dan memicu femisida, bentuk kekerasan ekstrem yang berujung pada hilangnya nyawa. Bahkan, kecerdasan buatan (AI) dinilai memperkuat bias sosial dan stereotip gender yang merugikan perempuan.
Remaja perempuan menjadi kelompok paling rentan karena intensitas tinggi penggunaan ruang daring yang seringkali dipenuhi bias gender dan konten misoginis. Banyak dari mereka mulai menghadapi pengalaman tidak nyaman sejak usia 12–16 tahun.
Kerentanan ini diperparah oleh beberapa faktor. Remaja usia 12–14 tahun mulai menginginkan privasi, membuat mereka enggan bercerita kepada orang tua. Norma sosial diskriminatif juga sering menyalahkan penyintas alih-alih pelaku.
Selain itu, pengawasan orang tua dan guru cenderung berfokus pada durasi penggunaan gawai, bukan keamanan. Normalisasi berbagi foto intim di kalangan remaja juga membuka celah pemerasan dan kontrol dalam hubungan. Remaja dari kelompok minoritas dan terpinggirkan bahkan menghadapi risiko yang lebih tinggi.

