Jakarta – Presidium Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herdiansyah Hamzah, mengecam keras keputusan Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45) Jakarta yang menskors seorang mahasiswanya. Sanksi ini diberikan karena mahasiswa tersebut menggelar diskusi yang mengkritik pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, tindakan yang dinilai Herdiansyah sebagai pelanggaran konstitusi dan prinsip kebebasan akademik.
Herdiansyah menegaskan bahwa mengkritik kebijakan seperti pemberian gelar pahlawan merupakan bagian integral dari kebebasan akademik. Ia menilai kampus keliru jika menghukum mahasiswa dengan alasan kegiatan tersebut masuk ranah politik praktis. Justru, menurutnya, pihak kampus perlu lebih memahami makna kebebasan akademik.
Mahasiswa yang diskors adalah Damar Setyaji Pamungkas dari program studi Manajemen Fakultas Ekonomi, Bisnis, dan Ilmu Sosial (FEBIS). Ia dikenai sanksi skorsing hingga akhir semester 2025/2026 setelah menggelar diskusi bertajuk “Soeharto Bukan Pahlawan: Tantang Fadli Zon, 1.000 Dosa Politik Soeharto” di lingkungan kampus pada Senin, 10 November 2025.
Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman ini menjelaskan bahwa hukuman tersebut bertentangan dengan Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk berekspresi. Perbedaan pendapat, imbuhnya, juga merupakan bagian dari prinsip-prinsip kebebasan akademik yang tercantum dalam Surabaya Principles on Academic Freedom 2017 (SPAF) dan ditegaskan UNESCO pada 1997. Kebebasan akademik tidak hanya mencakup pendidikan dan pengajaran, tetapi juga proses penelitian dan penyampaian hasilnya tanpa sensor, termasuk kritik terhadap kekuasaan.
Herdiansyah mendesak Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia untuk tidak membiarkan kampus melakukan skorsing terhadap mahasiswa karena perbedaan pendapat. Ia secara tegas meminta Kementerian untuk mencabut hukuman tersebut. Lebih lanjut, Herdiansyah juga meminta Presiden Prabowo Subianto bertanggung jawab dan memastikan kebebasan akademik serta berpendapat terlaksana dengan baik, menegur menteri jika membiarkan skorsing berlangsung.
Menurut Herdiansyah, kasus ini mengindikasikan semakin masifnya otoritarianisme dan ketidakmampuan rezim menghargai perbedaan pendapat. Ia menekankan bahwa marwah mahasiswa adalah kritik, dan mengkritik pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto merupakan tanggung jawab mahasiswa. “Justru yang dipertanyakan mereka yang permisif dalam pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dan bersikap diam,” ujarnya.
Damar Setyaji Pamungkas, yang juga Ketua Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) Jakarta Raya, diskors berdasarkan surat keputusan Dekan FEBIS Bobby Reza pada 10 November 2025. Dalam surat tersebut, Damar dituduh tidak menuruti arahan kepala program studi dan fakultas untuk tidak melakukan agenda di luar kegiatan akademik. Ia juga dianggap memobilisasi massa untuk kegiatan politik praktis di kampus, melanggar tata tertib yang tercantum dalam buku panduan akademik UTA 45 Jakarta.
Sanksi tersebut berimplikasi pada larangan Damar mengikuti kegiatan perkuliahan, organisasi kemahasiswaan, dan kegiatan yang menggunakan nama Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
Peristiwa ini terjadi bersamaan dengan keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, bersama sembilan nama lain termasuk Abdurrahman Wahid dan aktivis buruh Marsinah.
Dekan FEBIS Bobby Reza mengakui kampus memberikan sanksi skors kepada Damar. Ia mengklaim pemberian skors sudah sesuai prosedur setelah dilakukan rapat pimpinan dan ditemukan adanya pelanggaran. Bobby menjelaskan, kampus tidak melarang mimbar akademik, namun kegiatan di luar akademik yang bersifat politik atau sosial harus mendapatkan izin dari kampus tiga hari sebelum acara diadakan untuk pengkajian.
Menurut Bobby, diskusi mengenai gelar pahlawan Soeharto itu dilakukan tanpa izin dan pihak kampus baru mengetahuinya pada hari pelaksanaan. Diskusi tersebut juga diduga bermuatan politik praktis. “Dalam aturan kami, bahkan aturan Kementerian Pendidikan Tinggi, disebutkan bahwa kampus tidak berpolitik praktis,” jelasnya.

