Jakarta – Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri menyita uang dan memblokir aset senilai total sekitar Rp 55 miliar. Tindakan tegas ini menargetkan dua tersangka kasus korupsi PT Sarana Pembangunan Riau (SPR), setelah merugikan negara puluhan miliar rupiah.
Wakil Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri, Komisaris Besar Bhakti Eri Nurmansyah, menjelaskan bahwa penyidik menyita uang tunai sebesar Rp 5,4 miliar. Sisanya merupakan aset bergerak dan tidak bergerak.
“Kami melakukan tindakan blokir terhadap dua belas aset tidak bergerak dan aset bergerak milik tersangka atau keluarga,” ungkap Bhakti di Gedung Bareskrim Polri, Selasa, 21 Oktober 2025. Aset-aset tersebut ditaksir senilai Rp 50 miliar.
Dua tersangka yang terjerat kasus ini adalah Rahman Akil, selaku Direktur Utama PT SPR periode 2010-2015, dan Debby Riauma Sari, yang menjabat Direktur Keuangan PT SPR pada periode yang sama.
Beberapa aset bergerak yang disita meliputi mobil Volkswagen Tiguan Allspace 1.4 TSI AT tahun 2021 atas nama Raihan Afilio Akil, mobil BYD SEAL Performance tahun 2024 atas nama Risa Marquita Rassat, mobil Toyota Fortuner Tahun 2016 atas nama Nasirwan Hamonangan, dan satu unit sepeda motor Honda tahun 2019. Selain itu, delapan bidang tanah dan bangunan juga masuk dalam daftar sitaan.
Rahman Akil diduga memerintahkan bagian keuangan PT SPR maupun PT SPR Langgak untuk mengeluarkan uang kas yang tidak berhubungan dengan keperluan perusahaan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ia juga menunjuk konsultan keuangan dan hukum tanpa dasar kebutuhan dan kontrak yang jelas, sehingga merugikan keuangan PT SPR senilai Rp 13,4 miliar.
Rahman juga diduga merekayasa pencatatan pada pembukuan yang tidak sesuai standar akuntansi. “Akibatnya, perusahaan seolah-olah membukukan laba padahal kondisi sebenarnya adalah rugi,” kata Bhakti. Hal ini kemudian memicu pengeluaran untuk pembayaran jasa produksi kepada direksi sebesar Rp 7,6 miliar.
Sementara itu, Debby Riauma Sari diduga melakukan pengeluaran kas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, Debby diduga membuat kontrak dan pembayaran yang menyalahi mekanisme keuangan perusahaan. Ia juga dituduh merekayasa pencatatan pada pembukuan yang tidak sesuai standar akuntansi.
Kasus korupsi ini diperkirakan menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 33.296.257.959,00 dan US$ 3.000. Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keduanya saat ini telah ditahan di Rumah Tahanan Bareskrim Polri.

