Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan sejumlah temuan yang mengindikasikan ketidakwajaran signifikan dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry. Temuan ini meliputi kondisi keuangan PT JN yang merosot tajam, nilai aset yang diduga terdistorsi, serta proses uji tuntas (due diligence) yang dinilai tidak objektif, berujung pada potensi kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan laporan keuangan PT JN periode 2017–2021 sebelum akuisisi menunjukkan tren memburuk. Rasio profitabilitas (Return on Assets/ROA) dan rasio likuiditas (current ratio) perusahaan terus menurun, menandakan kinerja finansial yang tidak sehat.
Budi menegaskan Direksi ASDP tidak menjadikan kinerja yang merosot itu sebagai pertimbangan dan tidak mengevaluasinya secara memadai bersama konsultan uji tuntas. Padahal, lebih dari 95 persen nilai perusahaan bertumpu pada kapal-kapal berusia di atas 30 tahun.
Nilai aset ini diduga membengkak akibat berbagai praktik akuntansi. Mulai dari kapitalisasi biaya perawatan, revaluasi aset, hingga transaksi pembelian kapal antar-afiliasi tanpa pembayaran riil. Selain itu, PT JN menanggung utang bank sebesar Rp 580 miliar menjelang akuisisi, sebuah beban keuangan yang terkonfirmasi melalui percakapan internal manajer PT JN.
Budi menyebut proses uji tuntas yang tidak objektif ini justru menghasilkan keputusan bisnis yang tidak layak. Ia menjelaskan, berdasarkan data dan kondisi aktual, akuisisi tersebut ibarat mengejar keuntungan 4,99 persen dengan modal berbiaya bunga 11,11 persen, sebuah keputusan yang realistisnya merugikan.
Perhitungan Tim Akuntansi Forensik (AF) bahkan menempatkan nilai saham PT JN pada posisi minus Rp 383 miliar menggunakan metode discounted cash flow. Sementara itu, perhitungan berbasis net asset menunjukkan nilai saham minus Rp 96,3 miliar setelah penyesuaian nilai kapal oleh ahli teknik perkapalan.
Dengan nilai saham yang negatif, setiap pembayaran untuk mengakuisisi saham PT JN secara otomatis menimbulkan kerugian. Dalam akuisisi ini, ASDP tidak hanya mengambil alih aset PT JN, tetapi juga mewarisi seluruh kewajibannya, termasuk utang bank, pembiayaan, dan utang usaha.
Budi menjelaskan, angka Rp 19 miliar yang muncul dalam proses penilaian bukan nilai kapal, melainkan nilai perusahaan setelah seluruh kewajiban dipotong. Beban utang yang besar membuat ASDP harus mengucurkan shareholder loan kepada PT JN. Namun, hingga 31 Desember 2024, PT JN belum mampu mengembalikan pinjaman itu. “Singkatnya, sampai saat ini PT JN sebagai anak perusahaan ASDP masih merugi dan masih memiliki kewajiban yang belum dilunasi,” ujar Budi.
Di sisi lain, mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, membantah tudingan ini. Ia menyatakan merasa difitnah terkait pembelian kapal tua dengan harga mahal. Ira mengklaim, perusahaannya saat itu mengakuisisi saham perusahaan yang beroperasi, bukan membeli kapal.
Ira mempertanyakan lamanya penyelidikan yang sudah berjalan sekitar 1,5 tahun tanpa bukti konkret dugaan korupsi. Menurutnya, KPK tidak pernah menemukan bukti rasuah yang menjeratnya bersama dua rekan kerjanya, eks Direktur Komersial dan Pelayanan Muhammad Yusuf Hadi serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan, Harry Muhammad Adhi Caksono.
Ia juga merasa keberatan disiarkan sebagai salah satu tersangka korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara periode 2019-2022. Terutama dengan narasi yang menyebut akuisisi itu merugikan keuangan negara sebesar 70 persen dari nilai akuisisi.

