
Jakarta – Implementasi pajak *e-commerce* resmi ditunda. Kebijakan yang menugaskan platform daring memungut pajak dari pedagang *online* ini akan ditangguhkan hingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6 persen. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menyampaikan hal tersebut di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.
Penundaan ini dilakukan atas permintaan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Bimo menjelaskan, arahan terbaru tersebut membatalkan rencana sebelumnya yang menargetkan penerapan pajak ini pada Februari 2026.
“Terakhir memang arahannya (Purbaya) ke kami itu dilaksanakan di Februari. Tapi kemudian ada arahan baru dari Pak Menteri untuk menunggu sampai pertumbuhan ekonomi 6 persen,” ujar Bimo.
Kebijakan pajak *e-commerce* sendiri pertama kali dirilis oleh Sri Mulyani Indrawati, saat masih menjabat Menteri Keuangan pada 11 Juni 2024. Melalui peraturan ini, pemerintah menugaskan *e-commerce* atau platform seperti Shopee dan Tokopedia untuk menjadi pemungut pajak dari pedagang *online*.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 37 Tahun 2025. PMK ini mulai berlaku sejak 14 Juli 2025 dan akan berlaku hingga dicabut.
Bimo menambahkan, desain PMK ini memungkinkan *marketplace* ditunjuk untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari *merchant* atau penjual yang berpartisipasi di platform mereka.
Selama ini, setoran pajak bersifat mandiri atau *self-assessment*. Setiap orang yang memiliki kemampuan ekonomi tertentu, seperti UMKM dengan penghasilan di atas Rp 500 juta per tahun, wajib melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) atas aktivitas ekonominya yang memang terkena pajak.
Melalui penunjukan *marketplace* sebagai pemungut PPh Pasal 22, diharapkan pelaku UMKM dapat lebih mudah dalam melakukan pembayaran PPh karena dipungut oleh pihak lain. DJP meyakini langkah ini pada akhirnya dapat mendorong kepatuhan pajak pelaku usaha.

